Press ESC to close

Epistemologi Tata Kelola Bawaslu — Pengawasan Pemilu sebagai Penjaga Kualitas Demokrasi

Semarang — Dalam sebuah paparan berjudul “Tata Kelola Pengawasan Pemilu: Perspektif Epistemologis”, Yuwanto, Ph.D., dari Departemen Politik & Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro menegaskan bahwa pengawasan pemilu adalah mekanisme kunci penjaga kualitas demokrasi elektoral Indonesia. Paparan ini disampaikan dalam Seminar “Penguatan Tata Kelola Kelembagaan Pengawasan Pemilu” kerjasama Bawaslu RI dengan PC AIPI Semarang, Sabtu (20/12/2025) di Novotel Semarang.

Pengawasan Pemilu Tak Sekadar Administrasi

Secara normatif‑kritis dan institusional, Bawaslu dipandang sebagai “penjaga” demokrasi karena demokrasi elektoral tidak otomatis self‑enforcing dalam memastikan keadilan di tiap tahapan pemilu. Tanpa kontrol efektif, kekuasaan politik cenderung menyimpang; karena itu pencegahan, pengawasan aktif, dan penegakan hukum menjadi inti Bawaslu—sekaligus instrumen pengetahuan dan praktik untuk mewujudkan pemilu yang adil serta bermartabat.

Definisi dan Cakupan Ontologis Waslu

Dalam paparannya, Yuwanto mendefinisikan Waslu sebagai serangkaian mekanisme kelembagaan, hukum, dan sosial agar seluruh tahapan pemilu berjalan sesuai prinsip demokrasi, hukum, dan keadilan. Secara ontologis, Waslu mencakup proses pemilu, aktor, relasi kuasa, norma hukum, dan hak konstitusional warga negara.
Waslu meliputi pengawasan dari tahap persiapan hingga penghitungan suara; memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan; menegakkan aturan; serta menjamin setiap warga dapat menyalurkan hak pilihnya tanpa intimidasi atau hambatan.

Lima Fungsi Kunci: Dari Pencegahan hingga Transparansi

Paparan tersebut menyoroti peran Waslu sebagai pengawas independen relasi kekuasaan di arena elektoral; mengadopsi mekanisme preventif berbasis risiko dan sistem peringatan dini; menjadi pilar awal penegakan hukum elektoral; menjunjung transparansi; dan mendorong pengawasan partisipatif yang melibatkan masyarakat.

Landasan Teoretis Interdisipliner

Epistemologi Waslu berakar pada teori demokrasi, negara hukum, kelembagaan, dan tata kelola (good governance). Dalam kerangka demokrasi, Waslu diposisikan sebagai penjaga kualitas agar pemilu berlangsung meaningful dan just, bukan sekadar prosedural.
Pada perspektif negara hukum, Waslu disebut sebagai pilar Electoral Justice System (EJS) untuk pencegahan pelanggaran, penegakan aturan, dan penyelesaian sengketa elektoral yang adil dan transparan.
Secara kelembagaan, desain kewenangan Bawaslu dipandang krusial agar tidak terjadi fragmentasi pengawasan, sekaligus membangun budaya integritas dalam menegakkan aturan pemilu.
Dari sudut good governance, tata kelola Waslu menekankan independensi, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan keadilan, serta memastikan koordinasi optimal antaraktor untuk mencegah disfungsi dan menjaga integritas hasil.

Pergeseran Paradigma: Reaktif ke Preventif

Yuwanto menekankan sintesis konseptual berupa pergeseran dari pendekatan reaktif ke preventif: strategi pencegahan ex ante untuk mengurangi konflik sebelum terjadi, sebagai bentuk transformasi epistemologi menuju tata kelola pemilu yang proaktif.
Tiga pilar pencegahan yang diusulkan mencakup: pencegahan berbasis kerawanan tiap tahapan, pengawasan partisipatif dengan pelibatan masyarakat, dan early warning system berbasis teknologi serta analisis data.

Tantangan Epistemologis Waslu di Indonesia

Meski demikian, sejumlah tantangan diidentifikasi. Pertama, dualisme regulasi antara Pemilu dan Pilkada yang menciptakan ambiguitas pengawasan. Kedua, keterbatasan SDM dan teknologi untuk deteksi pelanggaran. Ketiga, fragmentasi penegakan hukum lintas tahapan yang melemahkan efektivitas.
Tantangan lain adalah keterlibatan multi‑aktor yang memicu tumpang tindih kewenangan dan potensi konflik, serta perubahan modus pelanggaran digital melalui hoaks, misinformasi, disinformasi, dan propaganda yang belum sepenuhnya terantisipasi.

Penutup

Melalui pendekatan epistemologis dan tata kelola yang kokoh, Waslu diharapkan bukan hanya meredam pelanggaran, tetapi juga memperkuat legitimasi demokrasi elektoral Indonesia. Paparan ditutup dengan ajakan memperkuat pencegahan, pengawasan aktif, dan penegakan hukum sebagai satu kesatuan sistemik.